Beranda | Artikel
Panduan Qurban
Kamis, 3 Oktober 2013

Pensyariatan Qurban

Udh-hiyah (qurban) pada hari Idul Adha disyariatkan berdasarkan beberapa dalil, di antaranya ayat (yang artinya), “Dirikanlah shalat dan berqurbanlah” (QS. Al Kautsar : 2). Di antara tafsiran ayat ini adalah “berqurbanlah pada hari raya Idul Adha”.( Zaadul Masiir, 9/249)

Keutamaan Qurban

Tak diragukan lagi, qurban adalah ibadah pada Allah dan pendekatan diri pada-Nya, juga dalam rangka mengikuti ajaran Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada beberapa hadits yang menerangkan keutamaannya, namun tidak ada satu pun yang shahih. Ibnul ‘Arobi dalam ‘Aridhotil Ahwadzi (6/288) berkata, “Tidak ada hadits shahih yang menerangkan keutamaan udhhiyah. Segelintir orang meriwayatkan beberapa hadits yang ajiib (yang menakjubkan), namun tidak shahih.” (Fiqhul Udhiyah, hal. 9)

Ibnul Qayyim berkata, “Penyembelihan yang dilakukan di waktu mulia lebih afdhol daripada sedekah senilai penyembelihan tersebut. Oleh karenanya jika seseorang bersedekah untuk menggantikan kewajiban penyembelihan pada manasik tamattu’ dan qiron meskipun dengan sedekah yang bernilai berlipat ganda, tentu tidak bisa menyamai keutamaan udhhiyah.”

Hukum Qurban

Hukum qurban adalah sunnah menurut pendapat mayoritas ulama. Dalil yang mendukung pendapat jumhur adalah hadits dari Ummu Salamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika telah masuk 10 hari pertama dari Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian berkeinginan untuk berqurban, maka janganlah ia menyentuh (memotong) rambut kepala dan rambut badannya (diartikan oleh sebagian ulama: kuku) sedikit pun juga.” (HR. Muslim). Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Hadits ini adalah dalil bahwasanya hukum udh-hiyah tidaklah wajib karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian ingin menyembelih qurban …”. Seandainya menyembelih udh-hiyah itu wajib, beliau akan bersabda, “Janganlah memotong rambut badannya hingga ia berqurban (tanpa didahului dengan kata-kata: Jika kalian ingin …, pen)”.” (Disebutkan oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro).

Dari Abu Suraihah, ia berkata, “Aku pernah melihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak berqurban.” (HR. ‘Abdurrazzaq). Ibnu Juraij berkata bahwa beliau berkata kepada ‘Atho, “Apakah menyembelih qurban itu wajib bagi manusia?” Ia menjawab, “Tidak. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban.” (HR. ‘Abdurrazzaq)

Niatan Qurban untuk Mayit

Para ulama berselisih pendapat mengenai keabsahan qurban untuk mayit jika bukan karena wasiat. Dalam madzhab Syafi’i, qurbannya tidak sah kecuali jika ada wasiat dari mayit. Yang masih dibolehkan adalah berqurban untuk mayit namun sebagai ikutan. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya termasuk yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Dasarnya adalah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berqurban untuk dirinya dan keluarganya, termasuk di dalamnya yang telah meninggal dunia. (Lihat Talkhish Kitab Ahkamil Udh-hiyah waz Zakaah, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 12-13)

Waktu Penyembelihan Qurban

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin” (HR. Bukhari)

Sedangkan mengenai waktu akhir dari penyembelihan qurban, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah menjelaskan, “Yang hati-hati bagi seseorang muslim bagi agamanya adalah melaksanakan penyembelihan qurban pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah) sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan hal ini lebih selamat dari perselisihan para ulama yang ada. Jika sulit melakukan pada waktu tersebut, maka boleh melakukannya pada 11 dan 12 Dzulhijjah sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas) ulama.Wallahu a’lam.” Sedangkan yang menyatakan bahwa waktu penyembelihan pada seluruh hari tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) dibangun di atas riwayat yang dho’if. (Lihat Fiqhul Udh-hiyah, hal. 119)

Pembagian Sepertiga dari Hasil Qurban

Adapun daging hasil sembelihan qurban, maka lebih utama sepertiganya dimakan oleh shohibul qurban; sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga, dan sahabat dekat; serta sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin. Namun jika lebih/ kurang dari sepertiga atau diserahkan pada sebagian orang tanpa lainnya (misalnya hanya diberikan pada orang miskin saja tanpa yang lainnya, pen), maka itu juga tetap diperbolehkan. Dalam masalah ini ada kelonggaran.” (Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah no. 1997, 11/ 424-425)

Ketentuan Hewan Qurban

Hewan yang digunakan untuk qurban adalah unta, sapi (termasuk kerbau), dan kambing.

Seekor kambing hanya untuk qurban satu orang dan boleh pahalanya diniatkan untuk seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Seekor sapi boleh dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor unta untuk 10 orang (atau 7 orang menurut pendapat yang lainnya).

Sedangkan ketentuan umur yang mesti diperhatikan: (1) unta, umur minimal  5 tahun; (2) sapi, umur minimal 2 tahun, (3) kambing, umur minimal 1 tahun, (4) domba jadza’ah, umur minimal 6 bulan.

Yang paling dianjurkan sebagai hewan qurban adalah: (1) yang paling gemuk dan sempurna, (2) hewan qurban yang lebih utama adalah unta, kemudian sapi, kemudian kambing, namun satu ekor kambing lebih baik daripada kolektif dalam sapi atau unta, (4) warna yang paling utama adalah putih polos, kemudian warna debu (abu-abu), kemudian warna hitam, (5) berkurban dengan hewan jantan lebih utama dari hewan betina.

Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:

  1. Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4:
    1. Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya
    2. Sakit dan tampak jelas sakitnya
    3. Pincang dan tampak jelas pincangnya
    4. Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang
  2. Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2:
    1. Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
    2. Tanduknya pecah atau patah
  3. Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.

Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. (Shahih Fiqih Sunnah, 2/370-375)

Tuntunan Penyembelihan Qurban

  1. Syarat hewan qurban, Yaitu hewan tersebut masih dalam keadaan hidup ketika penyembelihan, bukan dalam keadaan bangkai (sudah mati).
  2. Syarat orang yang akan menyembelih: (1) berakal, baik laki-laki maupun perempuan, sudah baligh atau belum baligh asalkan sudah tamyiz, (2) yang menyembelih adalah seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nashrani), (3) menyebut nama Allah ketika menyembelih.
    Perhatian: Sembelihan ahlul kitab bisa halal selama diketahui kalau mereka tidak menyebut nama selain Allah. Jika diketahui mereka menyebut nama selain Allah ketika menyembelih, semisal mereka menyembelih atas nama Isa Al Masih, maka pada saat ini sembelihan mereka menjadi tidak halal.
  3. Syarat alat untuk menyembelih: (1) menggunakan alat pemotong (2) tidak menggunakan tulang dan kuku.
  4. Adab dalam penyembelihan hewan: (1) berbuat baik terhadap hewan, (2) membaringkan hewan di sisi sebelah kiri, memegang pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan ketika menyembelih, (3) meletakkan kaki di sisi leher hewan, (4) menghadapkan hewan ke arah kiblat, (5) mengucapkan tasmiyah (basmalah) dan takbir.
  5. Ketika akan menyembelih disyari’atkan membaca “bismillāhi wallāhu akbar, hadza minka wa laka” atau ”hadza minka wa laka ’annii atau ’an fulan (disebutkan nama shahibul qurban)”atau berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, ”Allāhumma taqabbal minnii (Semoga Allah menerima qurbanku) atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban).

Sudah Berqurban Kok Malah Dijual?

Imam Syafi’i berkata,” Jika ada yang bertanya kenapa dilarang menjual daging qurban padahal boleh dimakan? Jawabnya, hewan qurban adalah persembahan untuk Allah. Setelah hewan itu dipersembahkan untuk-Nya, manusia pemilik hewan tidak punya wewenang apapun atas hewan tersebut, karena telah menjadi milik Allah. Maka Allah hanya mengizinkan daging hewan untuk dimakan. Maka hukum menjualnya tetap dilarang karena hewan itu bukan lagi menjadi milik yang berqurban”. Oleh karena itu para ulama melarang menjual bagian apapun dari hewan qurban yang telah disembelih; daging, kulit, kikil, gajih, kepala, dan anggota tubuh lainnya. Mereka melarangnya berdasarkan dalil, di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka qurbannya tidak diterima.” (HR. Hakim dan Baihaqi, shahih)

Ali bin Abi Thalib berkata, “Nabi memerintahkanku untuk menyembelih unta hewan qurban miliknya, dan Nabi memerintahkan agar aku tidak memberi apapun kepada tukang potong sebagai upah pemotongan“. (HR. Bukhari). Hadits ini juga menunjukkan bahwa tidak boleh diberikan bagian apapun dari anggota tubuh hewan qurban kepada tukang potong sebagai imbalan atas kerjanya memotong hewan. Bila saja upah tukang potong tidak boleh diambilkan dari hewan qurban apatah lagi menjualnya kepada orang lain.

Begitu juga orang yang bekerja sebagai panitia qurban tidak boleh mengambil upah dari hewan qurban. Bila menginginkan upah mengurus qurban mintalah kepada pemilik qurban berupa uang.

Semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq. [Muhammad Abduh Tuasikal, Riyadh-KSA, 2 Dzulqo’dah 1433 H]

Diringkas dari : http://rumaysho.com/hukum-islam/umum/4066-panduan-qurban-.html


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/panduan-qurban/